Minggu, 05 Agustus 2012

Askep pada Klien Fraktur

I. PENGERTIAN
Fraktur adalah putusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang disebabkan oleh kekerasan. (E. Oerswari, 1989 : 144).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000 : 347).
Jenis Fraktur
Fraktur tertutup adalah bila tidak ada hubungan patah tulang dengan dunia luar. Fraktur terbuka adalah fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit, dimana potensial untuk terjadi infeksi (Sjamsuhidajat, 1999 : 1138).
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian), dan biasanya lebih banyak dialami oleh laki-laki dewasa. Patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan pendertia jatuh dalam syok (FKUI, 1995:543)
Fraktur olecranon adalah fraktur yang terjadi pada siku yang disebabkan oleh kekerasan langsung, biasanya kominuta dan disertai oleh fraktur lain atau dislokasi anterior dari sendi tersebut (FKUI, 1995:553).


II. ETIOLOGI FRAKTUR
Menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
a. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang pata secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya.
2) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut :
1) Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali dan progresif.
2) Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
3) Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
c. Secara spontan : disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.
III. KLASIFIKASI FRAKTUR FEMUR
a. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
b. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragemen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukan di kulit, fraktur terbuka dibagi menjadi tiga derajat, yaitu :
1) Derajat I
- luka kurang dari 1 cm
- kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk.
- fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan.
- Kontaminasi ringan.
2) Derajat II
- Laserasi lebih dari 1 cm
- Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse
- Fraktur komuniti sedang.
3) Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.
c. Fraktur complete
• Patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergerseran (bergeser dari posisi normal).
d. Fraktur incomplete
• Patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.
e. Jenis khusus fraktur
a) Bentuk garis patah
1) Garis patah melintang
2) Garis pata obliq
3) Garis patah spiral
4) Fraktur kompresi
5) Fraktur avulsi
b) Jumlah garis patah
1) Fraktur komunitif garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2) Fraktur segmental garis patah lebih dari satu tetapi saling berhubungan
3) Fraktur multiple garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan.
c) Bergeser-tidak bergeser
- Fraktur tidak bergeser garis patali kompli tetapi kedua fragmen tidak bergeser.
- Fraktur bergeser, terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur yang juga disebut di lokasi fragmen (Smeltzer, 2001:2357).

IV. PATOFISIOLOGI FRAKTUR
Proses penyembuhan luka terdiri dari beberapa fase yaitu :
1. Fase hematum
• Dalam waktu 24 jam timbul perdarahan, edema, hematume disekitar fraktur
• Setelah 24 jam suplai darah di sekitar fraktur meningkat
2. Fase granulasi jaringan
• Terjadi 1 – 5 hari setelah injury
• Pada tahap phagositosis aktif produk neorosis
• Itematome berubah menjadi granulasi jaringan yang berisi pembuluh darah baru fogoblast dan osteoblast.
3. Fase formasi callus
• Terjadi 6 – 10 harisetelah injuri
• Granulasi terjadi perubahan berbentuk callus
4. Fase ossificasi
• Mulai pada 2 – 3 minggu setelah fraktur sampai dengan sembuh
• Callus permanent akhirnya terbentuk tulang kaku dengan endapan garam kalsium yang menyatukan tulang yang patah
5. Fase consolidasi dan remadelling
• Dalam waktu lebih 10 minggu yang tepat berbentuk callus terbentuk dengan oksifitas osteoblast dan osteuctas (Black, 1993 : 19 ).
V. TANDA DAN GEJALA FRAKTUR
1. Deformitas
Daya terik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti :
a. Rotasi pemendekan tulang
b. Penekanan tulang
2. Bengkak : edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur
3. Echumosis dari Perdarahan Subculaneous
4. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur
5. Tenderness/keempukan
6. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
7. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya saraf/perdarahan)
8. Pergerakan abnormal
9. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah
10. Krepitasi (Black, 1993 : 199).

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto Rontgen
- Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung
- Mengetahui tempat dan type fraktur
Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan selama proses penyembuhan secara periodik
2. Skor tulang tomography, skor C1, Mr1 : dapat digunakan mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Artelogram dicurigai bila ada kerusakan vaskuler
4. Hitung darah lengkap HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi ) atau menrurun ( perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple)
Peningkatan jumlah SDP adalah respon stres normal setelah trauma
5. Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfusi multiple atau cedera hati (Doenges, 1999 : 76 ).
VII. PENATALAKSANAAN
1. Fraktur Reduction
- Manipulasi atau penurunan tertutup, manipulasi non bedah penyusunan kembali secara manual dari fragmen-fragmen tulang terhadap posisi otonomi sebelumnya.
- Penurunan terbuka merupakan perbaikan tulang terusan penjajaran insisi pembedahan, seringkali memasukkan internal viksasi terhadap fraktur dengan kawat, sekrup peniti plates batang intramedulasi, dan paku. Type lokasi fraktur tergantung umur klien.
Peralatan traksi :
* Traksi kulit biasanya untuk pengobatan jangka pendek
* Traksi otot atau pembedahan biasanya untuk periode jangka panjang.
2. Fraktur Immobilisasi
- Pembalutan (gips)
- Eksternal Fiksasi
- Internal Fiksasi
- Pemilihan Fraksi
3. Fraksi terbuka
- Pembedahan debridement dan irigrasi
- Imunisasi tetanus
- Terapi antibiotic prophylactic
- Immobilisasi (Smeltzer, 2001).

MANAJEMEN KEPERAWATAN FRAKTUR
I. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh (Boedihartono, 1994 : 10).
Pengkajian pasien Post op frakture Olecranon (Doenges, 1999) meliputi :
a. Sirkulasi
Gejala : riwayat masalah jantung, GJK, edema pulmonal, penyakit vascular perifer, atau stasis vascular (peningkatan risiko pembentukan trombus).
b. Integritas ego
Gejala : perasaan cemas, takut, marah, apatis ; factor-faktor stress multiple, misalnya financial, hubungan, gaya hidup.
Tanda : tidak dapat istirahat, peningkatan ketegangan/peka rangsang ; stimulasi simpatis.
c. Makanan / cairan
Gejala : insufisiensi pancreas/DM, (predisposisi untuk hipoglikemia/ketoasidosis) ; malnutrisi (termasuk obesitas) ; membrane mukosa yang kering (pembatasan pemasukkan / periode puasa pra operasi).
d. Pernapasan
Gejala : infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok.
e. Keamanan
Gejala : alergi/sensitive terhadap obat, makanan, plester, dan larutan ; Defisiensi immune (peningkaan risiko infeksi sitemik dan penundaan penyembuhan) ; Munculnya kanker / terapi kanker terbaru ; Riwayat keluarga tentang hipertermia malignant/reaksi anestesi ; Riwayat penyakit hepatic (efek dari detoksifikasi obat-obatan dan dapat mengubah koagulasi) ; Riwayat transfuse darah / reaksi transfuse.
Tanda : menculnya proses infeksi yang melelahkan ; demam.
f. Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : pengguanaan antikoagulasi, steroid, antibiotic, antihipertensi, kardiotonik glokosid, antidisritmia, bronchodilator, diuretic, dekongestan, analgesic, antiinflamasi, antikonvulsan atau tranquilizer dan juga obat yang dijual bebas, atau obat-obatan rekreasional. Penggunaan alcohol (risiko akan kerusakan ginjal, yang mempengaruhi koagulasi dan pilihan anastesia, dan juga potensial bagi penarikan diri pasca operasi).

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994 : 17).
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan post op fraktur (Wilkinson, 2006) meliputi :
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress, ansietas
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan dispnea, kelemahan/keletihan, ketidak edekuatan oksigenasi, ansietas, dan gangguan pola tidur.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh terdapat luka / ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan, kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.
5. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan.
6. Kurang pengetahuan tantang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.

III. INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI
Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono, 1994:20)
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995:40).
Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan post op frakture Olecranon (Wilkinson, 2006) meliputi :
1. Nyeri adalah pengalaman sensori serta emosi yang tidak menyenangkan dan meningkat akibat adanya kerusakan jaringan aktual atau potensial, digambarkan dalam istilah seperti kerusakan ; awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari intensitas ringan samapai berat dengan akhir yang dapat di antisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan.
Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil : – Nyeri berkurang atau hilang
- Klien tampak tenang.
Intervensi dan Implementasi :
a. Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga
R/ hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif
b. Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri
R/ tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala nyeri
c. Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri
R/ memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri.
d. Observasi tanda-tanda vital.
R/ untuk mengetahui perkembangan klien
e. Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik
R/ merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik berfungsi untuk memblok stimulasi nyeri.
2. Intoleransi aktivitas adalah suatu keadaaan seorang individu yang tidak cukup mempunyai energi fisiologis atau psikologis untuk bertahan atau memenuhi kebutuhan atau aktivitas sehari-hari yang diinginkan.
Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Kriteria hasil : – perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.
- pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu.
- Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.
Intervensi dan Implementasi :
a. Rencanakan periode istirahat yang cukup.
R/ mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat digunakan untuk aktivitas seperlunya secar optimal.
b. Berikan latihan aktivitas secara bertahap.
R/ tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara perlahan dengan menghemat tenaga namun tujuan yang tepat, mobilisasi dini.
c. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
R/ mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali.
d. Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien.
R/ menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh sebagai akibat dari latihan.
3. Kerusakan integritas kulit adalah keadaan kulit seseorang yang mengalami perubahan secara tidak diinginkan.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil : – tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.
b. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
c. Pantau peningkatan suhu tubuh.
R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan.
d. Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril, gunakan plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi.
e. Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal lainnya.
f. Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi.
g. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R / antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko terjadi infeksi.
4. Hambatan mobilitas fisik adalah suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakkan fisik yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih.
Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil : – penampilan yang seimbang..
- melakukan pergerakkan dan perpindahan.
- mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat Bantu.
2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi dan Implementasi :
g. Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
h. Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
i. Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
j. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
k. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.
5. Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer, perubahan sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan kerusakan kulit.
Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil : – tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Pantau tanda-tanda vital.
R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh meningkat.
b. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
c. Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus, kateter, drainase luka, dll.
R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.
d. Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit.
R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya proses infeksi.
e. Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.
6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.
Tujuan : pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses pengobatan.
Kriteria Hasil : – melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan dari suatu tindakan.
- memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta dalam regimen perawatan.
Intervensi dan Implementasi:
a. Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
R/ mengetahui seberapa jauh pengalaman dan pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
b. Berikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan kondisinya sekarang.
R/ dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang, klien dan keluarganya akan merasa tenang dan mengurangi rasa cemas.
c. Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet makanan nya.
R/ diet dan pola makan yang tepat membantu proses penyembuhan.
d. Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang telah diberikan.
R/ mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga serta menilai keberhasilan dari tindakan yang dilakukan.

IV. EVALUASI
Evaluasi addalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan post operasi fraktur adalah :
1. Nyeri dapat berkurang atau hilang setelah dilakukan tindakan keperawatan.
2. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
3. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai
4. Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
5. Infeksi tidak terjadi / terkontrol
6. Pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses pengobatan.

Askep Glomerulonefritis dan Pielonefritis

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Glomerulonefritis adalah suatu sindrom yang ditandai oleh peradangan dari glomerulus diikuti pembentukan beberapa antigen yang mungkin endogenus (seperti sirkulasi tiroglobulin) atau eksogenus (agen infeksius atau proses penyakit sistemik yang menyertai) hospes (ginjal) mengenal antigen sebagai benda asing dan mulai membentuk antibody untuk menyerangnya. Respon peradangan ini menimbulkan penyebaran perubahan patofisiologis, termasuk menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG), peningkatan permeabilitas dari dinding kapiler glomerulus terhadap protein plasma (terutama albumin) dan SDM, dan retensi abnormal natrium dan air yang menekan produksi renin dan aldosteron (Glassok, 1988; Dalam buku Sandra M. Nettina, 2001).
Anatomi Glomerulonefritis 300x201 Askep Glomerulonefritis dan Pielonefritis
Pielonefritis adalah inflamasi atau infeksi akut pada pelvis renalis, tubula dan jaringan interstisiel. Penyakit ini terjadi akibat infeksi oleh bakteri enterit (paling umum adalah Escherichia Coli) yang telah menyebar dari kandung kemih ke ureter dan ginjal akibat refluks vesikouretral. Penyebab lain pielonefritis mencakup obstruksi urine atau infeksi, trauma, infeksi yang berasal dari darah, penyakit ginjal lainnya, kehamilan, atau gangguan metabolik (Sandra M. Nettina, 2001).
Penyebab glomerulonefritis yang lazim adalah streptokokkus beta nemolitikus grup A tipe 12 atau 4 dan 1, jarang oleh penyebab lainnya. Tanda dan gejalanya adalah hematuria, proteinuria, oliguria, edema, dan hipertensi (Sylvia A. Price dan Lorraine M. Willson, 2005).

Penyebab
Penyebab pielonefritis yang paling sering adalah Escherichia Coli. Tanda dan gejalanya adalah demam timbul mendadak, menggigil, malaise, nyeri tekan daerah kostovertebral, leukositosis, dan bakteriuria (Sylvia A. Price dan M. Willson, 2005).
Berdasarkan hasil penelitian glomerulonefritis dan pielonefritis lebih sering terjadi pada anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki. Karena bentuk uretranya yang lebih pendek dan letaknya berdekatan dengan anus. Studi epidemiologi menunjukkan adanya bakteriuria yang bermakna pada 1% sampai 4% gadis pelajar. 5%-10% pada perempuan usia subur, dan sekitar 10% perempuan yang usianya telah melebihi 60 tahun. Pada hampir 90% kasus, pasien adalah perempuan. Perbandingannya penyakit ini pada perempuan dan laki-laki adalah 2 : 1.

B. Tujuan penulisan
1. Tujuan Umum
Menambah ilmu pengetahuan dan pemahaman tentang asuhan keperawatan glomerulonefritis dan pielonefritis.
2. Tujuan Khusus
- Agar mampu melakukan pengkajian pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.
- Agar mampu menegakkan diagnosa keperawatan pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.
- Agar mampu melakukan intervensi pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.
- Agar mampu melaksanakan implementasi pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.
- Agar mampu melakukan evaluasi pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.

BAB II PEMBAHASAN
I. KONSEP DASAR PENYAKIT
A. GLOMERULONEFRITIS
1. Pengertian
Glomerulonefritis adalah peradangan dan kerusakan pada alat penyaring darah sekaligus kapiler ginjal (glomerulus) (Sandra M. Nettina, 2001).
Glomerulonefritis adalah sindrom yang ditandai oleh peradangan dari glomerulus diikuti pembentukan beberapa antigen (Barbara Engram, 1999).
Glomerulonefritis akut adalah istilah yang sering secara luas digunakan yang mengacu pada sekelompok penyakit ginjal dimana inflamasi terjadi di glomerulus (Brunner & Suddarth, 2001).
2. Etiologi
a. Kuman streptococcus.
b. Berhubungan dengan penyakit autoimun lain.
c. Reaksi obat.
d. Bakteri.
e. Virus.
(Sandra M. Nettina,2001).
3. Manifestasi Klinis
a. Faringitis atau tansiktis.
b. Demam.
c. Sakit kepala.
d. Malaise.
e. Nyeri panggul.
f. Hipertensi.
g. Anoreksia.
h. Muntah.
i. Edema akut.
j. Oliguria, proteinuria, dan urine berwarna cokelat.
(Sandra M. Nettina, 2001).
4. Patofisiologi
Prokferusi seluler (peningkatan produksi sel endotel ialah yang melapisi glomerulus). Infiltrasi leukosit ke glomerulus atau membran basal menghasilkan jaringan perut dan kehilangan permukaan penyaring. Pada glomerulonefritis ginjal membesar, bengkak dan kongesti. Pada kenyataan kasus, stimulus dari reaksi adalah infeksi oleh kuman streptococcus A pada tenggorokan, yang biasanya mendahului glomerulonefritis sampai interval 2-3 minggu. Produk streptococcus bertindak sebagai antigen, menstimulasi antibodi yang bersirkulasi menyebabkan cedera ginjal (Sandra M. Nettina, 2001).
5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Urinalisis (UA).
b. Laju filtrasi glomerulus (LFG).
c. Nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum.
d. Pielogram intravena (PIV).
e. Biopsi ginjal.
f. Titer antistrepsomisin O (ASO).
(Sandra M. Nettina, 2001).
6. Penatalaksanaan
a. Manifestasi diet:
- Pembatasan cairan dan natrium.
- Pembatasan protein bila BUN sangat meningkat.
b. Farmakoterapi
- Terapi imunosupresif seperti agen sitoksit dan steroid untuk glomerulonefritis progresif cepat.
- Diuretik, terutama diuretik loop seperti furosemid (lasix), dan bumex.
- Dialisis, untuk penyakit ginjal tahap akhir.
(Sandra M. Nettina, 2001).
7. Komplikasi
a. Hipertensi.
b. Dekopensasi jantung.
c. GGA (Gagal Ginjal Akut).
(Sandra M. Nettina, 2001).

B. PIELONEFRITIS
1. Pengertian
Pielonefritis merupakan infeksi bakteri pada piala ginjal, tubulus, dan jaringan interstinal dari salah satu atau kedua ginjal ( Brunner & Suddarth, 2002).
Pielonefritis merupakan suatu infeksi dalam ginjal yang dapat timbul secara hematogen atau retrograd aliran ureterik (J.C.E. Underwood, 2007).
2. Etiologi
a. Bakteri (Escherichia Coli, Klebsiella Pneumoniac, Streptococcus Fecalis).
b. Obstruksi urinari track.
c. Refluks.
d. Kehamilan.
e. Kencing manis.
f. Keadaan-keadaan menurunnya imunitas untuk melawan infeksi.
(Barbara Engram, 1988).
3. Manifestasi Klinis
Gejala yang paling umum dapat berupa demam tiba-tiba, kemudian dapat disertai menggigil, nyeri punggung bagian bawah, mual dan muntah (Barbara Engram, 1988).
4. Patofisiologi
Bakteri naik ke ginjal dan pelvis ginjal melalui saluran kandung kemih dan uretra. Flora normal fekal seperti E. Coli, Streptococcus Fecali, Pseudomonas Aeruginosa, dan Staphilococcus Aureus adalah bakteri paling umum yang menyebabkan pielonefritis akut, E. Coli menyebabkan sekitar 85% infeksi. Pada pielonefritis akut, inflamasi menyebabkan pembesaran ginjal yang tidak lazim. Korteks dan medula mengembang dan multipel abses. Kulit dan pelvis ginjal juga akan berinvolusi. Resolusi dari inflamasi menghasilkan fibrosis dan scarring pielonefritis kronik muncul setelah periode berulang dari pielonefritis akut. Ginjal mengalami perubahan degeneratik dan menjadi kecil serta atrophic. Jika destruksi nefron meluas, dapat berkembang menjadi gagal ginjal (Barbara Engram, 1988).
5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Whole Blood.
b. Urinalisis.
c. USG dan Radiologi.
d. BUN.
e. Kreatinin.
f. Serum Selectrolytes.
(Barbara Engram, 1988).
6. Komplikasi
a. Nekrosis papila ginjal.
b. Fionefrosis.
c. Abses perinefrit.
(Barbara Engram, 1988).
7. Penatalaksanaan
a. Terapi antimikroba spesifik organisme:
- Biasanya dimulai segera untuk mencakup prevalen patogen gram negatif, kemudian disesuaikan berdasarkan hasil kultur urine.
- Pengobatan dilakukan 2 minggu atau lebih.
b. Pengobatan pasien rawat inap dengan terapi antimikroba parenteral jika pasien tidak dapat mentoleransi asupan oral dan mengalami dehidrasi atau penyakit akut.
c. Drainase perkutan atau terapi antibiotik yang lama diperlukan untuk mengobati abses renal atau abses perinefrik.
(Barbara Engram, 1988).

II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Genitourinaria : urine keruh, proteinuria, penurunan urine output, hematuria.
2. Kardivaskular : hipertensi.
3. Neurologis : letargi, iritabilitas, kejang.
4. Gastrointestinal : anoreksia, azotemia, hiperkalemia.
5. Integumen : pucat, edema.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI
1. Perubahan pola eliminasi urine (disuria, dorongan, frekuensi, atau nokturia) berhubungan dengan infeksi pada ginjal.
Tujuan : pola eliminasi urine dalam batas normal (3-6 x/hari).
Kriteria Hasil : – Pasien bisa berkemih secara normal.
- Tidak ada infeksi pada ginjal, tidak nyeri waktu berkemih.
Intervensi:
- Ukur dan catat urine setiap kali berkemih.
Rasional : Untuk mengetahui adanya perubahan warna dan untuk mengetahui input/output.
- Anjurkan untuk berkemih setiap 2-3 jam.
Rasional : Untuk mencegah terjadinya penumpukan urine dalam vesika urinaria.
- Palpasi kandung kemih setiap 4 jam.
Rasional : Untuk mengetahui adanya distensi kandung kemih.
- Bantu klien ke kamar kecil, memakai pispot/urinal.
Rasional : Untuk memudahkan klien dalam berkemih.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi dengan cukup.
Kriteria Hasil : Klien akan menunjukkan peningkatan intake ditandai dengan porsi akan dihabiskan minimal 80%.
Intervensi:
- Sediakan makanan yang tinggi karbohidrat.
Rasional : Diet tinggi karbohidrat biasanya lebih cocok dan menyediakan kalori essensial.
- Sajikan makanan sedikit-sedikit tapi sering, termasuk makanan kesukaan klien.
Rasional : Menyajikan makanan sedikit-sedikit tapi sering memberikan kesempatan bagi klien untuk menikmati makanannya, dengan menyajikan makanan kesukaan dapat meningkatkan nafsu makan.
- Batasi masukan sodium dan protein sesuai order.
Rasional : Sodium dapat menyebabkan retensi cairan, pada beberapa kasus ginjal tidak dapat memetabolisme protein, sehingga perlu untuk membatasi pemasukan cairan.
3. Nyeri berhubungan dengan infeksi pada ginjal.
Tujuan : Nyeri berkurang atau tidak ada.
Kriteria Hasil : – Klien menunjukkan wajah yang rileks.
- Infeksi bisa diatasi.
Intervensi:
- Kaji intensitas, lokasi, dan faktor yang memperberat dan memperingankan nyeri.
Rasional : Rasa sakit yang hebat menandakan adanya infeksi.
- Berikan waktu istirahat yang cukup.
Rasional : Klien dapat beristirahat dengan tenang dan dapat merilekskan otot-otot.
- Anjurkan minum banyak 2-3 liter jika tidak ada kontraindikasi.
Rasional : Untuk membantu klien dalam berkemih.
- Berikan analgesik sesuai dengan program terapi.
Rasional : Analgesik dapat memblok lintasan nyeri.

DAFTAR PUSTAKA
Engram, Barbara. (1992). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume 1. EGC. Jakarta.
Lawler, William, dkk. (1992). Buku Pintar Patologi Untuk Kedokteran Gigi. EGC. Jakarta.
Nettina, Sandra M. (2001). Pedoman Praktik Keperawatan. EGC. Jakarta.
Price, Sylvia,dkk. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. EGC. Jakart

Asuhan Keperawatan Stroke Hemoragik

A. Pengkajian
Pengkajian merupakan pengumpulan data yang sengaja dilakukan secara sistematik untuk menentukan keadaan kesehatan klien sekarang dan masa lalu serta untuk mengevaluasi pola koping klien sekarang dan masa lalu. Data dapat diperoleh dengan 5 (lima) cara yaitu wawancara, pemeriksaan fisik, observasi, menelaah catatan dan laporan diagnostik serta berkolaborasi dengan tim kesehatan lain. Untuk mewujudkan pengkajian yang akurat, perawat harus dapat berkomunikasi secara efektif, mengobservasi secara sistematik dan menginterprestasikan data yang akurat (Carpenito, 2000)
Data dasar yang ada pada saat pengkajian pasien stroke menurut Doenges, Moorhouse, Geissler (1999) adalah :
1. Aktifitas/istirahat
Adanya kelemahan, kehilangan sensasi atau paralisis, terdapat gangguan tonus otot dan gangguan tingkat kesadaran.
2. Sirkulasi
Adanya hipertensi arterial, disritmia, desiran pada karotis, femoralis dan aorta yang abnormal.
3. Integritas Ego
Ditemukan adanya emosi yang labil dan kesulitan untuk mengekspresikan diri, perasaan tidak berdaya dan putus asa.
4. Eliminasi
Ditemukan adanya perubahan pola berkemih seperti inkontinensia urine maupun anuria, distensi abdomen (pada perabaan kandung kemih berlebihan).
5. Status Nutrisi
Didapatkan anoreksia, mual dan muntah selama fase peningkatan TIK, kehilangan sensasi (rasa kecap) pada lidah, pipi, tenggorokan dan disfagia (kesulitan menelan).
6. Neurosensori
Adanya sakit kepala (yang bertambah berat dengan adanya perdarahan intraserebral), kelemahan, kesemutan, penglihatan menurun (total), kehilangan daya lihat sebagian (kebutaan monokuler), penglihatan ganda (diplopia) serta hilangnya rangsang sensorik kontralateral (pada sisi tubuh yang berlawanan) pada ekstremitas. Dapat juga ditemukan adanya gangguan tingkat kesadaran seperti koma, kelemahan atau paralisis, pada ekstermitas (kontralateral pada semua jenis stroke), parase pada wajah, afasia, miosis/midriasis pada pupil disertai dengan ukuran yang tidak sama.
7. Nyeri/kenyamanan
Sakit kepala dengan intensitas yang berbeda-bada, adanya tingkah laku yang tidak stabil dan gelisah
8. Pernafasan
Ditandai dengan ketidakmampuan menelan/batuk/hambatan jalan nafas.
9. Keamanan
Ditemukan perubahan persepsi terhadap orientasi tempat tubuh, kesulitan untuk melihat objek dari sisi kiri atau kanan, gangguan berespon terhadap panas atau dingin.
10. Interaksi sosial
Masalah dalam berbicara, ketidak mampuan untuk berkomunikasi
11. Penyuluhan atau pembelajaran
Adanya riwayat hipertensi pada keluarga, stroke dan pacandu alcohol.
12. Pemeriksaan Diagnostik
a. CT Scan memperlihatkan edema, hematoma, iskemia dan adanya infark.
b. Sinar X menggambarkan klasifikasi parsial dinding aneurisma pada perdarahan subarakhnoid.
c. EEG mengidentifikasi masalah berdasarkan pada gelombang otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
d. Angiografi serebral memperlihatkan adanya perdarahan arteri atau adanya oklusi atau ruptur.
e. MRI menunjukkan daerah yang mengalami infark, hemoragik, malformasi arteriovena (AVM).
f. Pungsi lumbal memperlihatkan adanya peningkatan dan cairan yang mengandung darah menunjukan adanya perdarahan intrakranial.

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah cara mengidentifikasi, memfokuskan dan mengatasi kebutuhan spesifik serta respons terhadap masalah aktual dan resiko tinggi (Doenges dkk, 1999).
Diagnosa keperawatan yang timbul pada pasien dengan stroke hemoragik menurut Doenges, et al (1999) adalah :
1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah, gangguan oklusif, hemoragi, vasospasme serebral, edema serebral.
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan keterlibatan neuromuskuler, kelemahan, parestesia, flaksid/paralisis hipotonik (awal), paralisis spastis.
3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan sirkulasi serebral, kerusakan neuromuskuler, kehilangan tonus/kontrol otot fasial atau oral, kelemahan/kelelahan umum.
4. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi sensori, transmisi, integrasi (trauma neurologis atau defisit).
5. Kurang perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan dan ketahanan, kehilangan kontrol/koordinasi otot, kerusakan perseptual/kognitif.
6. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan perubahan biofisik, psikososial, perseptual kognitif.
7. Resiko tinggi terhadap kerusakan menelan berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler atau perseptual.
8. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan pengobatan serta perawatan.

C. Perencanaan Keperawatan Stroke Hemoragik
Sebagai langkah selanjutnya dalam proses keperawatan adalah perencanaan yaitu penentuan apa yang ingin dilakukan untuk membantu klien dalam pemenuhan kebutuhan kesehatan dan mengatasi masalah keperawatan.
Fase perencanaan dari proses keperawatan mempunyai 3 (tiga) komponen (Carpenito, 2000) yaitu :
1. Menetapkan set prioritas diagnosis
Untuk membedakan prioritas diagnosa dari semua yang penting, tapi bukan prioritas.
a. Diagnosa prioritas
Diagnosa-diagnosa keperawatan atau masalah-masalah kolaboratif yang apabila tidak diarahkan akan menghambat kemajuan untuk mencapai hasil atau akan berpengaruh negative pada status fungsional klien (gangguan perfusi jaringan serebral pada klien dengan perdarahan di otak)
b. Diagnosa penting
Diagnosa-diagnosa keperawatan atau masalah-masalah kolaboratif dimana pengobatanya dapat ditangguhkan pada waktu lain tanpa menurunkan status fungsional yang ada (resiko gangguan perawatan diri pada pasien dengan kondisi kesehatan yang mulai stabil)
2. Menyusun kriteria hasil dan sasaran keperawatan
Menurut Bulechek dan McCloskey (1985) dalam Carpenito (2000) Tujuan diagnosa keperawatan adalah sebagai “pos pemandu untuk memilih intervensi keperawatan dan kriteria evaluasi dari intervensi keperawatan”.
3. Memutuskan intervensi keperawatan
Bulechek dan McCloskey (1989) mendifinisikan intervensi keperawatan sebagai suatu tindakan perawatan langsung yang dapat dilakukan perawat atas nama klien. Tindakan ini termasuk tindakan inisiatif perawat sebagai hasil dari diagnosa keperawatan, tindakan inisiatif dokter sebagai hasil dari diagnosa medis dan penampilan dari fungsi harian yang esensial bagi klien yang tidak dapat melakukannya.
Diagnosa keperawatan yang telah disusun pada pasien dengan stroke hemoragik, maka rencana asuhan keperawatan yang dapat dilakukan menurut Doenges et al, (1999) adalah :
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah, gangguan oklusif, hemoragi, vasospasme serebral, edema serebral.
Kriteria evalusi pasien akan :
a. mempertahankan tingkat kesadaran biasa atau perbaikan, kognisidan fungsi motorik atau sensori.
b. mendemostrasikan tanda-tanda vital stabil dan tidak adanya tanda-tanda peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK).
Intervensi :
a. Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau yang menyebabkan koma atau penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.
Rasional : Mempengaruhi penetapan intervensi. Kerusakan atau kemunduran tanda atau kemunduran tanda atau gejala neurologis atau kegagalan memperbaikinya setelah fase awal memerlukan pembendahan dan atau pasien harus di pindahkan ke ruang perawatan kritis (ICU).
b. Pantau atau catat status neurologis sesering mungkin dan bandingkan dengan keadaan normalnya atau standar
Rasional : Mengetahui kecenderungan tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan mengetahui lokasi, luas dan kemajuan/resolusi kerusakan Sistem Saraf Pusat (SSP). Dapat menunjukan Transient Ischemic Attack (TIA).
c. Kaji fungsi-fungsi yang lebih tinggi, seperti fungsi bicara jika pasien sadar.
Rasional : Perubahan dalam isi kognitif dan bicara merupakan indikator dari lokasi/derajat gangguan serebral dan mungkin mengidentifikasikan dengan penurunan/peningkatan TIK.
d. Pertahankan keadaan tirah baring; ciptakan lingkungan yang tenang; batasi pengunjung/aktivitas pasien sesuai indikasi. Berikan istirahat secara periodik antara aktivitas perawatan, batasi lamanya setiap prosedur.
Rasional : Aktivitas/stimulasi yang kontinu dapat meningkatkan TIK. Istirahat total dan ketenangan mungkin diperlukan untuk pencegahan terhadap perdarahan dalam kasus stroke hemoragi
e. Pentau tanda-tanda vital seperti adanya hipertensi/hipotensi, bandingkan tekanan darah yang terbaca pada kedua lengan.
Rasional : Hipotensi postural dapat menjadi faktor pencetus. Hipotensi dapat terjadi karena syok (kolaps sirkulasi vaskuler). Peningkatan TIK dapat terjadi karena edema, adanya formasi bekuan darah. Tersumbatnya arteri subklavia dapat dinyatakan dengan adanya perbedaan tekanan pada kedua lengan.
f. Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketajaman, kesamaan antara kiri dan kanan, dan reaksinya terhadap cahaya.
Rasional : Reaksi pupil diatur oleh saraf kranial okulomotor (III) dan berguna dalam menentukan apakah batang otak tersebut masih baik. Ukuran dan kesamaaan pupil ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan simpatis dan parasimpatis yang mempersarafinya.
g. Kaji perubahan pada penglihatan, seperti adanya penglihatan yang kabur, ganda, lapang pandang menyempit dan kedalaman persepsi.
Rasional : Gangguan penglihatan yang telah spesifik mencerminkan daerah otak yang terkena mengindikasikan keamanan yang harus mendapat perhatian dan mempengaruhi intervensi yang harus dilakukan.
h. Pantau pemasukan dan pengeluaran.
Rasional : Keseimbangan harus dipertahankan untuk menjamin hidrasi untuk mengencerkan sekresi pada saat yang sama mencegah hipovolemia yang meningkatkan TIK (Tucker et al, 1998).
i. Pertahankan kepala atau leher pada posisi tengah atau posisi netral, sokong dengan gulungan handuk kecil atau bantal kecil. Hindari pemakaian bantal besar pada kepala.
Rasional : Menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan meningkatkan sirklasi atau perfusi serebral (Tucker et al, 1998).
j. Kolaborasi dalam analisa gas darah dan pemberian terapi medis.
Rasional : Hipoksia dapat menyebabkan vasodilatasi serebral dan terbentuknya edema (Tucker et al,1998).
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan keterlibatan neuromuskuler, kelemahan, flaksid/paralisis hipotonik, paralisis spastis.
Kriteria evaluasi pasien akan :
a. mempertahankan posisi yang optimal yang dibuktikan oleh tidak adanya kontraktur.
b. mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dari fungsi bagian tubuh yang terkena.
c. mendemonstrasikan perilaku yang memungkinkan melakukan aktivitas, serta mempertahankan integritas kulit.
Intervensi :
a. Kaji kemampuan secara fungsional/luasnya kerusakan awal dengan cara yang teratur. Klasifikasikan melalui skala 0-4.
0 = pasien tidak tergantung pada orang lain
1 = pasien butuh sedikit bantuan
2 = pasien butuh bantuan/pangawasan/bimbingan sederhana
3 = pasien butuh bantuan/peralatan yang banyak
4 = pasien sangat tergantung pada pemberian pelayanan
Rasional : Mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat memberikan informasi mengenai pemulihan. Bantu dalam pemilihan terhadap intervensi sebab teknik yang berbeda digunakan untuk paralisis spastik dengan flaksid.
b. Ubah posisi minimal tiap dua jam (miring, telentang).
Rasional : Menurunkan resiko terjadinya trauma/iskemia jaringan. Daerah yang terkena mengalami perburukan/sirkulasi yang lebih jelek dan menurunkan sensasi dan lebih besar menimbulkan kerusakan pada kulit/dekubitus
c. Lakukan latihan gerak aktif dan pasif pada semua ekstremitas (bila memungkinkan). Sokong ekstermitas dalam posisi fungsionalnya, gunakan papan kaki selama periode paralisis.
Rasional : Meminimalkan atrofi otot, menurunkan sirkulasi, membantu mencegah kontraktur menurunkan resiko terjadinya hiperkalsiuria dan osteoporosis jika masalah utamanya adalah perdarahan.
d. Gunakan penyangga lengan ketika klien berada dalam posisi tegak, sesuai indikasi.
Rasional : Selama paralisis flaksid, penggunaan penyangga dapat menurunkan resiko terjadinya subluksasio lengan dan “sindrom bahu-lengan”.
e. Posisikan lutut dan panggul dalam posisi ekstensi
Rasional : Mempertahankan posisi fungsional.
f. Bantu untuk mengembangkan keseimbangan duduk (seperti meninggikan bagian kepala) tempat tidur, bantu untuk duduk disisi tempat tidur.
Rasional : Membantu dalam melatih kembali fungsi saraf, meningkatkan respon proprioseptik dan motorik.
g. Alasi kursi duduk dengan busa atau balon air dan bantu pasien untuk memindahkan berat badan dalam interval yang teratur.
Rasional : Mencegah/menurunkan tekanan koksigeal atau kerusakan kulit.
h. Observasi daerah yang terkena termasuk warna, edema atau tanda lain dari gangguan sirkulasi.
Rasional : Jaringan yang mengalami edema lebih mudah mengalami trauma dan penyembuhannya lambat.
i. Lakukan massase pada daerah kemerahan dan beri alat bantu seperti bantalan lunak kulit sesuai kebutuhan.
Rasional : Titik-titik takanan pada daerah yang menonjol paling beresiko untuk terjadinya penurunan perfusi/iskemia. Stimulasi sirkulasi dan memberikan bantalan membantu mencegah kerusakan kulit dan berkembangnya dekubitus.
j. Susun tujuan dengan klien atau orang terdekat untuk berpartisipasi dalam latihan dan mengubah posisi.
Rasional : Meningkatkan harapan terhadap perkembangan atau peningkatan dan memeberikan perasaan kontrol atau kemandirian.
k. Anjurkan klien untuk membantu pergerakan dan latihan dengan menggunakan ekstremitas yang tidak sakit untuk menyokong/menggerakkan daerah tubuh yang mengalami kelemahan.
Rasional : Dapat berespon dengan baik jika daerah yang sakit tidak menjadi lebih terganggu dan memerlukan dorongan serta latihan aktif untuk menyatukan kembali sebagai bagian dari tubuhnya sendiri.
l. Kolaborasikan dengan ahli fisioterapi dan obat-obatan medis dalam membantu pemulihan kondisi.
Rasional : Program yang khusus dapat dikembangkan untuk menemukan kebutuhan yang berarti/menjaga kekurangan tersebut dalam keseimbangan, koordinasi, dan kekuatan.
3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan sirulasi serebral, kerusakan neuromuskuler, kehilangan tonus otot fasia/oral.
Kriteria hasil pasien akan :
mengidentifikasi pemahaman tentang masalah komunikasi, membuat metode komunikasi dimana kebutuhan dapat diekspresikan, menggunakan sumber-sumber dengan tepat.
Intervensi :
a. Kaji derajat disfungsi, seperti klien mengalami kesulitan berbicara atau membuat pengertian sendiri.
Rasional : Membantu menentukan daerah atau derajat kerusakan serebral yang terjadi dan kesulitan pasien dalam beberapa atau seluruh tahap proses komunikasi.
b. Perhatikan kesalahan dalam komunikasi dan berikan umpan balik.
Rasional : Pasien mungkin kehilangan kemampuan untuk memantau ucapan yang keluar dan tidak menyadari bahwa komunikasi yang diucapkan tidak nyata. Umpan balik membantu pasien merealisasikan kenapa pemberi asuhan tidak mengerti atau berespon sesuai dan memberikan kesempatan untuk mengklarifikasi isi atau makna yang terkandung.
c. Tunjukkan objek dan minta klien untuk menunjukkan nama dari objek tersebut.
Rasional : Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan motorik (afasia motorik) seperti pasien mungkin mengenalinya tetapi tidak dapat menyebutkannya.
d. Minta klien untuk menggucapkan suara sederhana seperti “Sh” atau “Pus”.
Rasional : Mengidentifikasi adanya disartria sesuai komponen motorik dari bicara (seperti : lidah, gerakan bibir, kontrol nafas) yang dapat mempengaruhi artikulasi.
e. Minta klien untuk menulis nama atau kalimat pendek.
Rasional : Menilai kemampuan menulis (agrafia) dan kekurangan dalam membaca yang benar (aleksia) yang juga merupakan bagian dari afasia sensori dan afasia motorik.
f. Bicara dengan nada normal dan hindari percakapan yang cepat. Berikan pasien jatak waktu untuk merespons. Bicaralah tanpa tekanan pada sebuah respons.
Rasional : Perawat tidak perlu merusak pendengaran dan meninggikan suara dapat menimbulkan pasien marah. Mefokuskan respons dapat mengakibatkan frustasi dan mungkin menyebabkan pasien terpaksa untuk bicara otomatis seperti : memutarbalikkan kata.
g. Anjurkan kepada orang terdekat untuk tetap memelihara komunikasi dengan klien.
Rasional : Mengurangi isolasi sosial pasien dan meningkatkan penciptaan komunikasi yang efektif.
4. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi sensori, trasmisi, integrasi (trauma neurologis).
Kriteria evaluasi pasien akan :
mempertahankan tingkat kesadaran dan fungsi perceptual, mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya keterbatasan residual, mendemonstrasikan perilaku untuk mengkompensasikan terhadap/defisit hasil.
Intervensi :
a. Kaji kesadaran sensorik seperti membedakan panas/dingin, tajam/tumpul.
Rasional : Penurunan kesadaran terhadap sensorik dan kerusakan perasaan kinetik berpengaruh buruk terhadap keseimbangan/posisi tubuh dan kesesuaian dari gerakan yang menggangu ambulasi, meningkatkan resiko terjadinya trauma.
b. Dekati pasien dari daerah penglihatan yang normal. Biarkan lampu menyala, letakkan banda dalam jangkauan lapang penglihatan yang normal. Tutup mata yang sakit jika perlu.
Rasional : Pemberian pengenalan terhadap adanya orang/benda dapat membantu masalah persepsi, mencegah pasien dari terkejut. Penutupan mata mungkin dapat menurunkan kebingungan karena adanya pandangan ganda.
c. Ciptakan lingkungan yang sederhana, pindahkan perabotan yang membahayakan.
Rasional : Menurunkan/membatasi jumlah stimulasi penglihatan yang mungkin dapat menimbulkan kebingungan terhadap interprestasi lingkungan, menurunkan resiko terjadinya kecelakaan
d. Lindungi pasien dari suhu yang berlebih, kaji adanya lingkungan yang membahayakan. Rekomendasikan pemeriksaan terhadap suhu air dengan tangan yang normal.
Rasional : Meningkatkan keamanan pasien dan menurunkan resiko terjadinya trauma.
e. Hindari kebisingan/stimulasi eksternal yang berlebih sesuai kebutuhan.
Rasional : Menurunkan ansietas dan respons emosi yang berlebihan/kebingungan yang berhubungan dengan sensori berlebihan.
f. Lakukan validasi terhadap persepsi pasien. Orientasikan kembali pasien secara teratur pada lingkungannya, staf dan tindakan yang akan dilakukan.
Rasional : Membantu klien untuk mengidentifikasi ketidak-konsistenan dari persepsi dan integritas stimulasi dan mungkin menurunkan distorsi persepsi pada realitas.
5. Kurang perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan dan ketahanan, kehilangan kontrol atau koordinasi otot.
Kriteria evaluasi pasien akan :
mendemonstrasikan teknik/perubahan gaya hidup yang memenuhi kebutuhan perawatan diri, melakukan akativitas perawatan diri dalam tingkat kemampuan sendiri, mengidentifikasi sumber pribadi/komunitas memberikan bantuan sesuai kebutuhan.
Intervensi :
a. Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan (dengan menggunakan skala 0-4) untuk melakukan kebutuhan sehari-hari.
0 = pasien tidak tergantung pada orang lain.
1 = pasien butuh sedikit bantuan.
2 = pasien butuh bantuan/pangawasan/bimbingan sederhana.
3 = pasien butuh bantuan/peralatan yang banyak.
4 = pasien sangat tergantung pada pemberian pelayanan.
Rasional : Mambantu dalam mangantisipasi/merencanakan pemenuhan kebutuhan secara individual.
b. Hindari melakukan sesuatu untuk pasien yang dapat dilakukan pasien sendiri, tetapi berikan bantuan sesuai kebutuhan.
Rasional : Pasien ini mungkin menjadi sangat ketakutan dan sangat tergantung dan meskipun bantuan yang diberikan bermanfaat dalam mencegah frustasi, adalah penting bagi pasien untuk melakukan sebanyak mungkin untuk diri sendiri untuk mempertahankan harga diri dan meningkatkan pemulihan.
c. Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukan atau keberhasilannya.
Rasional : Meningkatkan perasaan makna diri. Meningkatkan kemandirian, dan mendorong pasien untuk berusaha secara kontinu.
d. Pertahankan dukungan, sikap yang tegas, beri pasien waktu yang cukup untuk mengerjakan tugasnya.
Rasional : Pasien akan memerlukan empati tapi perlu untuk mengetahui pemberi asuhan yang akan membantu pasien secara konsisten
6. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan perubahan biofisik, psikososial, perseptual kognitif.
Kriteria evaluasi pasien akan :
Berkomunikasi dengan orang terdekat tentang situasi dan perubahan yang telah terjadi, mengungkapkan penerimaan pada diri sendiri dalam situasi, mengenali dan menggabungkan perubahan dalam konsep diri dalam cara yang akurat tanpa menimbulkan harga diri negatif.
Intervensi :
a. Kaji luasnya gangguan peresepsi dan hubungkan dengan derajat ketidakmampuannya.
Rasional : Penentuan faktor-faktor secara individu membantu dalam mengembangkan perencanaan asuhan/pilihan intervensi.
b. Anjurkan pasien untuk mengekpresikan perasaannya termasuk rasa bermusuhan dan perasaan marah.
Rasional : Mendemonstrasikan penerimaan/membantu pasien untuk mengenal dan mulai mamahami perasaan ini.
c. Tekankan keberhasilan yang kecil sekali pun baik mengenai penyembuhan fungsi tubuh ataupun kemandirian pasien.
Rasional : Mengkonsolidasikan keberhasilan membantu menurunkan perasaan marah dan ketidakberdayaan dan menimbulkan perasaan adanya perkembangan.
d. Bantu dorong kebiasaan berpakaian dan berdandan yang baik.
Rasional : Membantu meningkatkan perasaan harga diri dan kontrol atas salah satu bagian kehidupan.
e. Dorong orang terdekat agar memberikan kesempatan pada klien untuk melakukan sebanyak mungkin untuk dirinya sendiri.
Rasional : Membangun kembali rasa kemandirian dan menerima kebanggaan diri dan meningkatkan proses rehabilitasi.
f. Berikan dukungan terhadap perilaku/usaha seperti meningkatkan minat/pertisipasi pasien dalam kegiatan rehabilitatif.
Rasional : Mengisyaratkan kemungkinan adaptasi untuk mengubah dan memahami tentang peran diri sendiri dalam kehidupan selanjutnya.
7. Resiko tinggi terhadap kerusakan menelan berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler atau perseptual.
Kriteria evaluasi pasien akan :
mendemostrasikan metode makan tepat untuk situasi individual dengan aspirasi tercegah, mempertahankan berat badan yang diinginkan
Intervensi :
a. Kaji ulang kemampuan menalan pasien secara individual, catat luasnya paralisis fasial, gangguan lidah, kemampuan untuk melindungi jalan nafas. Timbang berat badan secara periodik sesuai kebutuhan.
Rasional : Identifikasi kemampuan menelan pasien untuk menentukan pemilihan intervensi yang tepat.
b. Berikan makan dengan perlahan pada lingkungan yang tenang.
Rasional : Pasien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makan tanpa adanya distraksi/gangguan dari luar.
c. Mulai berikan makan per oral setengah cair, makanan lunak ketika pasien dapat menelan air. Pilih/Bantu pasien untuk memilih makanan yang kecil atau tidak perlu mengunyah dan mudah ditelan, contohnya : telur, agar-agar, makanan kecil yang lunak lainnya.
Rasional : Makanan lunak/cair kental lebih muda untuk mengendalikannya di dalam mulut, menurunkan resiko terjadinya aspirasi.
d. Anjurkan pasien menggunakan sedotan untuk meminum cairan.
Rasional : Menguatkan otot fasialis dan otot menelan dan menurunkan resiko terjadinya tersedak.
e. Pertahankan masukan dan haluan dengan akurat, catat jumlah kalori yang masuk.
Rasional : Jika usaha menelan tidak mamadai untuk memenuhi kebutuhan cairan dan makanan harus dicarikan metode alternatif untuk makan.
f. Berikan cairan melalui IV dan/atau makanan melalui selang.
Rasional : Mungkin diperlukan untuk memberikan cairan pengganti dan juga makanan jika pasien tidak mampu untuk memasukkan segala sesuatu melalui mulut.
8. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan pengobatan serta perawatan.
Kriteria evalusi pasien akan :
berpartisipasi dalam proses belajar, mengungkapkan pemahaman tentang kondisi/prognosis dan aturan terapeutik, memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan.
Intervensi :
a. Tinjau ulang keterbatasan saat ini dan diskusikan rencana/kemungkinan melakukan kembali aktifitas.
Rasional : Meningkatkan pemahaman, memberikan harapan pada masa. Datang dan menimbulkan harapan dari keterabatasan hidup secara “normal”.
b. Tinjau ulang/pertegas kembali pengobatan yang diberikan. Identifikasi cara meneruskan program setelah pulang.
Rasional : Aktvitas yang dianjurkan, pembatasan dan kebutuhan obat/terapi dibuat pada dasar pendekatan interdisipliner terkoordinasi. Mengikuti cara tersebut merupakan suatu hal yang penting pada kemajuan pemulihan/pencegahan komplikasi.
c. Sarankan menurunkan/membatasi stimulasi lingkungan terutama selama kegiatan berpikir.
Rasional : Stimulasi yang beragam dapat memperbesar gangguan proses berfikir.
d. Identifikasi sumber-sumber yang ada dimasyarakat, seperti perkumpulan stroke, atau program pendukung lainnya.
Rasional : Meningkatkan kemampuan koping dan meningkatkan penanganan di rumah dan penyelesaian terhadap kerusakan.

D. Pelaksanaan Keperawatan Stroke Hemoragik
Tindakan keperawatan (implementasi) adalah preskripsi untuk mengetahui perilaku positif yang diharapkan dari klien atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat sesuai dengan apa yang direncanakan (Doenges et al, 1999).
Alfaro (1994) dalam Carpenito (2000) menyatakan bahwa komponan implementasi dari proses keperawatan meliputi penerapan keterampilan yang perlu implementasi intervensi keperawatan. Keterampilan dan pengetahuan perlu untuk implementasi yang biasanya difokuskan pada :
1. Melakukan aktivitas untuk klien atau membantu klien.
2. Melakukan pengakajian keperawatan untuk mengidentifikasi masalah baru atau mamantau status atau masalah yang ada.
3. Melakukan penyuluhan untuk membantu klien mamperoleh pengetahuan baru mangenai kesehatan mereka sendiri atau penatalaksanaan penyimpangan.
4. Membantu klien membuat keputusan tantang perawatan kesehatan dirinya sendiri.
5. Konsultasi dan rujuk pada profesional perawatan kesehatan lainnya untuk memperoleh arahan yang tepat.
6. Memberikan tindakan perawatan spesifik untuk menghilangkan, mengurangi atau mengatasi masalah kesehatan.
7. Membantu klien untuk melaksanakan aktivitas mereka sendiri.
8. Membantu klien untuk mengidentifikasi resiko, atau masalah dan menggali pilihan yang tersedia.

E. Evaluasi
Evaluasi adalah hasil yang didapatkan dengan menyebutkan item-item atau perilaku yang dapat diamati dan dipantau untuk menentukan apakah hasilnya sudah tercapai atau belum dalam jangka waktu yang telah ditentukan (Doenges et al, 2000).
Evaluasi mencakup tiga pertimbangan yang berbeda (Carpenito, 2000) yaitu :
1. Evaluasi mengenai status klien
2. Evaluasi tentang kemajuan klien kearah pencapaian sasaran.
3. Evaluasi mengenai status dan kejadian rencana perawatan.
Hasil yang diharapkan sebagai indikator evaluasi asuhan keperawatan pada penderita stroke yang tertuang dalam tujuan pemulangan (Doenges et al, 2000) adalah :
1. Fungsi serebral membaik/meningkat, penurunan fungsi neurologis diminimalkan atau dapat stabil.
2. Komplikasi dapat dicegah atau diminimalkan.
3. Kebutuhan pasien sehari-hari dapat dipenuhi oleh pasien sendiri atau dengan bantuan yang minimal dari orang lain.
4. Mampu melakukan koping dengan cara yang positif, perencanaan untuk masa depan.
5. Proses dan prognosis penyakit dan pengobatanya dapat dipahami.
Dokumentasi keperawatan sangat penting bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan. Dokumentasi ini penting karena pelayanan keperawatan yang diberikan kepada klien membutuhkan catatan dan pelaporan yang dapat digunakan sebagai tanggung jawab dan tanggung gugat dari berbagai kemungkinan masalah yang dialami klien baik masalah kepuasan maupun ketidakpuasan terhadap pelayanan yang diberikan (Hidayat 2001).