Kamis, 26 Juli 2012

PEMERIKSAAN JANTUNG

 
Inspeksi
Dilakukan inspeksi pada prekordial penderita yang berbaring terlentang atau dalam posisi sedikit dekubitus lateral kiri karena apek kadang sulit ditemukan misalnya pada stenosis mitral. dan pemeriksa berdiri disebelah kanan penderita.
Memperhatikan bentuk prekordial apakah normal, mengalami depresi atau ada penonjolan asimetris yang disebabkan pembesaran jantung sejak kecil. Hipertropi dan dilatasi ventrikel kiri dan kanan dapat terjadi akibat kelainan kongenital.

Garis anatomis pada permukaan badan yang penting dalam melakukan pemeriksaan dada adalah:
Garis tengah sternal (mid sternal line/MSL)
Garis tengah klavikula (mid clavicular line/MCL)
Garis anterior aksilar (anterior axillary line/AAL)
Garis parasternal kiri dan kanan (para sternal line/PSL)
Mencari pungtum maksimum, Inspirasi dalam dapat mengakibatkan paru-paru menutupi jantung, sehingga pungtum maksimimnya menghilang, suatu variasi yang khususnya ditemukan pada penderita emfisema paru. Oleh kerena itu menghilangnya pungtum maksimum pada inspirasi tidak berarti bahwa jantung tidak bergerak bebas. Pembesaran ventrikel kiri akan menggeser pungtum maksimum kearah kiri, sehingga akan berada diluar garis midklavikula dan kebawah. Efusi pleura kanan akan memindahkan pungtum maksimum ke aksila kiri sedangkan efusi pleura kiri akan menggeser kekanan. Perlekatan pleura, tumor mediastinum, atelektasis dan pneumotoraks akan menyebabkan terjadi pemindahan yang sama.
Kecepatan denyut jantung juga diperhatikan, meningkat pada berbagai keadaan seperti hipertiroidisme, anemia, demam.

Palpasi

Pada palpasi jantung, telapak tangan diletakkan diatas prekordium dan dilakukan perabaan diatas iktus kordis (apical impulse)
Lokasi point of masksimal impulse , normal terletak pada ruang sela iga (RSI) V kira-kira 1 jari medial dari garis midklavikular (medial dari apeks anatomis). Pada bentuk dada yang panjang dan gepeng, iktus kordis terdapat pada RSI VI medial dari garis midklavikular, sedang pada bentuk dada yang lebih pendek lebar, letak iktus kordis agak ke lateral. Pada keadaan normal lebar iktus kordis yang teraba adalah 1-2 cm2
Bila kekuatan volum dan kualitas jantung meningkat maka terjadi systolic lift, systolic heaving, dan dalam keadaan ini daerah iktus kordis akan teraba lebih melebar.
Getaranan bising yang ditimbulkan dapat teraba misalnya pada Duktus Arteriosis Persisten (DAP) kecil berupa getaran bising di sela iga kiri sternum.

Pulsasi ventrikel kiri
Pulsasi apeks dapat direkam dengan apikokardiograf. Pulsasi apeks yang melebar teraba seperti menggelombang (apical heaving). Apical heaving tanpa perubahan tempat ke lateral, terjadi misalnya pada beban sistolik ventrikel kiri yang meningkat akibat stenosis aorta. Apical heaving yang disertai peranjakan tempat ke lateral bawah, terjadi misalnya pada beban diastolik ventrikel kiri yang meningkat akibat insufisiensi katub aorta. Pembesaran ventrikel kiri dapat menyebabkan iktus kordis beranjak ke lateral bawah. Pulsasi apeks kembar terdapat pada aneurisme apikal atau pada kardiomiopati hipertrofi obstruktif.


Pulsasi ventrikel kanan
Area dibawah iga ke III/IV medial dari impuls apikal dekat garis sternal kiri, normal tidak ada pulsasi. Bila ada pulsasi pada area ini, kemungkinan disebabkan oleh kelebihan beban sistolik ventrikel kanan, misalnya pada stenosis pulmonal atau hipertensi pulmonal. Pulsasi yang kuat di daerah epigastrium dibawah prosesus sifoideus menunjukkan kemungkinan adanya hipertropi dan dilatasi ventrikel kanan. Pulsasi abnormal diatas iga ke III kanan menunjukkan kemungkinan adanya aneurisma aorta asendens. Pulsasi sistolik pada interkostal II sebelah kiri pada batas sternum menunjukkan adanya dilatasi arteri pulmonal.

Getar jantung ( Cardiac Trill)
Getar jantung ialah terabanya getaran yang diakibatkan oleh desir aliran darah. Bising jantung adalah desiaran yang terdengar karena aliran darah. Getar jantung di daerah prekordial adalah getaran atau vibrasi yang teraba di daerah prekordial. Getar sistolik (systolic thrill) timbul pada fase sistolik dan teraba bertepatan dengan terabanya impuls apikal. Getar diastolic (diastolic thrill) timbul pada fase diastolik dan teraba sesudah impuls apikal.
Getar sistolik yang panjang pada area mitral yang melebar ke lateral menunjukkan insufisiensi katup mitral. Getar sistolik yang pendek dengan lokasi di daerh mitral dan bersambung kearah aorta menunjukkan adanya stenosis katup aorta. Getar diastolik yang pendek di daerah apeks menunjukkan adanya stenosis mitral. Getar sistolik yang panjang pada area trikuspid menunjukkan adanya insufisiensi tricuspid. Getar sistolik pada area aorta pada lokasi didaerah cekungan suprasternal dan daerah karotis menunjukkan adanya stenosis katup aorta, sedangkan getar diastolik di daerah tersebut menunjukkan adanya insufisiensi aorta yang berat, biasanya getar tersebut lebih keras teraba pada waktu ekspirasi. Getar sistolik pada area pulmonal menunjukkan adanya stenosis katup pulmonal.
Pada gagal jantung kanan getar sistolik pada spatium interkostal ke 3 atau ke 4 linea para sternalis kiri.

Perkusi jantungCara perkusi
Batas atau tepi kiri pekak jantung yang normal terletak pada ruang interkostal III/IV pada garis parasternal kiri pekak jantung relatif dan pekak jantung absolut perlu dicari untuk menentukan gambaran besarnya jantung.
Pada kardiomegali, batas pekak jantung melebar kekiri dan ke kanan. Dilatasi ventrikel kiri menyebabkan apeks kordis bergeser ke lateral-bawah. Pinggang jantung merupakan batas pekak jantung pada RSI III pada garis parasternal kiri. Kardiomegali dapat dijumpai pada atlit, gagal jantung, hipertensi, penyakit jantung koroner, infark miokard akut, perikarditis, kardiomiopati, miokarditis, regurgitasi tricuspid, insufisiensi aorta, ventrikel septal defect sedang, tirotoksikosis, Hipertrofi atrium kiri menyebabkan pinggang jantung merata atau menonjol kearah lateral. Pada hipertrofi ventrikel kanan, batas pekak jantung melebar ke lateral kanan dan/atau ke kiri atas. Pada perikarditis pekat jantung absolut melebar ke kanan dan ke kiri. Pada emfisema paru, pekak jantung mengecil bahkan dapat menghilang pada emfisema paru yang berat, sehingga batas jantung dalam keadaan tersebut sukar ditentukan.

Auskultasi Jantung
Auskultasi ialah merupakan cara pemeriksaan dengan mendengar bunyi akibat vibrasi (getaran suara) yang ditimbulkan karena kejadian dan kegiatan jantung dan kejadian hemodemanik darah dalam jantung.
Alat yang digunakan ialah stetoskop yang terdiri atas earpiece, tubing dan chespiece.
Macam-macam ches piece yaitu bowel type dengan membran, digunakan terutama untuk mendengar bunyi dengan frekuensi nada yang tinggi; bel type, digunakan untuk mendengar bunyi-bunyi dengan frekuensi yang lebih rendah.

Beberapa aspek bunyi yang perlu diperhatikan :
a) Nada berhubungan dengan frekuensi tinggi rendahnya getaran.
b) Kerasnya (intensitas), berhubungan dengan ampitudo gelombang suara.
c) Kualitas bunyi dihubungkan dengan timbre yaitu jumlah nada dasar dengan bermacam-macam jenis vibrasi bunyi yang menjadi komponen-komponen bunyi yang terdengar.
Selain bunyi jantung pada auskultasi dapat juga terdengar bunyi akibat kejadian hemodemanik darah yang dikenal sebagai desiran atau bising jantung (cardiac murmur).

Bunyi jantung
Bunyi jantung utama: BJ, BJ II, BJ III, BJ IV
Bunyi jantung tambahan, dapat berupa bunyi detik ejeksi (ejection click) yaitu bunyi yang terdengar bila ejeksi ventrikel terjadi dengan kekuatan yang lebih besar misalnya pada beban sistolik ventrikel kiri yang meninggi. Bunyi detak pembukaan katub (opening snap) terdengar bila pembukaan katup mitral terjadi dengan kekuatan yang lebih besar dari normal dan terbukanya sedikit melambat dari biasa, misalnya pada stenosis mitral.

Bunyi jantung utama
Bunyi jantung I ditimbulkan karena kontraksi yang mendadak terjadi pada awal sistolik, meregangnya daun-daun katup mitral dan trikuspid yang mendadak akibat tekanan dalam ventrikel yang meningkat dengan cepat, meregangnya dengan tiba-tiba chordae tendinea yang memfiksasi daun-daun katup yang telah menutup dengan sempurna, dan getaran kolom darah dalam outflow track (jalur keluar) ventrikel kiri dan di dinding pangkal aorta dengan sejumlah darah yang ada didalamnya. Bunyi jantung I terdiri dari komponen mitral dan trikuspidal.

Faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas BJ I yaitu:
Kekuatan dan kecepatan kontraksi otot ventrikel, Makin kuat dan cepat makin keras bunyinya
Posisi daun katup atrio-ventrikular pada saat sebelum kontraksi ventrikel. Makin dekat terhadap posisi tertutup makin kecil kesempatan akselerasi darah yang keluar dari ventrikel, dan makin pelan terdengarnya BJ I dan sebaliknya makin lebar terbukanya katup atrioventrikuler sebelum kontraksi, makin keras BJ I, karena akselerasi darah dan gerakan katup lebih cepat.
Jarak jantung terhadap dinding dada. Pada pasien dengan dada kurus BJ lebih keras terdengar dibandingkan pasien gemuk dengan BJ yang terdengar lebih lemah. Demikian juga pada pasien emfisema pulmonum BJ terdengar lebih lemah.
Bunyi jantung I yang mengeras dapat terjadi pada stenosisis mitral,
BJ II ditimbulkan karena vibrasi akibat penutupan katup aorta (komponen aorta), penutupan katup pulmonal (komponen pulmonal), perlambatan aliran yang mendadak dari darah pada akhir ejaksi sistolik, dan benturan balik dari kolom darah pada pangkal aorta yang baru tertutup rapat.
Bunyi jantung II dapat dijumpai pada Duktus Arteriosus Persisten besar, Tetralogi Fallot, stenosis pulmonalis,
Pada gagal jantung kanan suara jantung II pecah dengan lemahnya komponen pulmonal. Pada infark miokard akut bunyi jantung II pecah paradoksal, pada atrial septal depect bunyi jantung II terbelah.
BJ III terdengar karena pengisian ventrikel yang cepat (fase rapid filling). Vibrasi yang ditimbulkan adalah akibat percepatan aliran yang mendadak pada pengisisan ventrikel karena relaksasi aktif ventrikel kiri dan kanan dan segera disusul oleh perlambatan aliran pengisian
Bunyi jantung III dapat dijumpai pada syok kardiogenik, kardiomiopati, gagal jantung, hipertensi
Bunyi jantung IV dapat terdengar bila kontraksi atrium terjadi dengan kekuatan yang lebih besar, misalnya pada keadaan tekanan akhir diastole ventrikel yang meninggi sehingga memerlukan dorongan pengisian yang lebih keras dengan bantuan kontraksi atrium yang lebih kuat.
Bunyi jantung IV dapat dijumpai pada penyakit jantung hipertensif, hipertropi ventrikel kanan, kardiomiopati, angina pectoris, gagal jantung, hipertensi,
Irama derap dapat dijumpai pada penyakit jantung koroner, infark miokard akut, miokarditis, kor pulmonal, kardiomiopati dalatasi, gagal jantung, hipertensi, regurgitasi aorta.

Bunyi jantung tambahan
Bunyi detek ejeksi pada awal sistolik (early sisitolic click). Bunyi ejeksi adalah bunyi dengan nada tinggi yang terdengar karena detak. Hal ini disebabkan karena akselerasi aliran darh yang mendadak pada awal ejeksi ventrikel kiri dan berbarengan dengan terbukanya katup aorta yang terjadi lebih lambat.. keadaan inisering disebabkan karena stenosis aorta atau karena beban sistolik ventrikel kiri yang berlebihan dimana katup aorta terbuka lebih lambat.
Bunyi detak ejeksi pada pertengahan atau akhir sistolik (mid-late systolick klick) adalah bunyi dengan nada tinggi pada fase pertengahan atau akhir sistolik yang disebabkan karena daun-daun katup mitral dan chordae tendinea meregang lebih lambat dan lebih keras. Keadaan ini dapat terjadi pada prolaps katup mitral karena gangguan fungsi muskulus papilaris atau chordae tendinea.
Detak pembukaan katup (opening snap) adalah bunyi yang terdengar sesudah BJ II pada awal fase diastolik karena terbukanya katup mitral yang terlambat dengan kekuatan yang lebih besar yang disebabkan hambatan pada pembukaan katup mitral. Keadaan ini dapat terjadi pada stenosis katup mitral.
Pada stenosis trikuspid pembukaan katup didaera trikuspid.

Bunyi ekstra kardial
Gerakan perikard (pericardial friction rub) terdengar pada fase sistolik dan diastolik akibat gesekan perikardium viseral dan parietal. Bunyi ini dapat ditemukan pada perikarditis.

Bising (desir) jantung (cardiac murmure)
Bising jantung adalah bunyi desiran yang terdengar memanjang yang timbul akibat vibrasi aliran darah turbulen yang abnormal.
Evaluasi desir jantung dilihat dari:
1. Waktu terdengar: pada fase sistolik atau diastolik
Terlebih dahulu tentukan fase siklus jantung pada saat terdengar bising (sistolik atau diastolik) dengan patokan BJ I dan BJ II atau dengan palapasi denyut karotis yang teraba pada awal sistolik.
Bising diastolik dapat dijumpai pada stenosis mitral, regurgitasi aorta, insufisiensi aorta, gagal jantung kanan, stenosis tricuspid yang terdengar pada garis sternal kiri sampai xipoideus, endokarditis infektif, penyakit jantung anemis
Bising sistolik dapat dijumpai pada stenosis aorta, insufisiensi mitral, endokarditis infektif, angina pectoris, stenosis pulmonalis yang terdengar di garis sternal kiri bagian atas, tatralogi fallot,
Bising jantung sistolik terdengar pada fase sistolik, dibedakan:
Bising jantung awal sistolik: Terdengar mulai pada saat sesudah BJ I dan menempati pase awal sistolik dan berakhir pada pertengahan pase sistilik
Bising jantung pertengahan sistolik: Terdengar sesudah BJ I dan pada pertengahan fase sisitolik dan berakhir sebelum terdengar BJ II.
Bising ini dapat dijumpai pada Duktus Arteriosus Persisten (DAP) sedang,
Bising jantung akhir sistolik: Terdengar pada fase akhir sistolik dan berakhir pada saat terdengar BJ II
Bising ini dapat dijumpai pada sindrom marfan
Bising jantung pan-sistolik: Mulai terdengar pada saat BJ I dan menempati seluruh fase sisitolik dan berakhir pada saat terdengar BJ II.
Bising ini dapat dijumpai pada ventrikel septal defect , regurgitasi trikuspid
Bising jantung diastolik terdengar pada fase diastolik, dibedakam:
Bising jantung awal: terdengar mulai saat BJ II menempati fase awal diastolik dan biasanya menghilang pada pertengahan diastolik.
Bising ini dapat dijumpai pada ventrikel septal depect
Bising jantung pertengahan: terdengar sesaat sesudah terdengar BJ II dan biasanya berakhir sebelum BJ I
Bising ini dapat dijumpai pada ventrikel septal depect, stenosis mitral, Duktus Arteriosus Persisten (DAP) yang berat
Bising jantung akhir diastolik atau presistolik: terdengar pada fase akhir diastolik dan berakhir pada saat terdengar BJ I
Bising ini dapat dijumpai pada stenosis mitral,
Bising jantung bersambungan: mulai terdengar paada fase sistolik dan tanpa interupsi melampai BJ II terdengar kedalam fase diastolic
Bising ini dapat ditemukan pada patent dutus srteriosus

2.Intensitas bunyi:

intensitas bunyi yang ditimbulkan berbeda-beda dari yang ringan sanpai yang keras. Pada insufisiensi mitral intensitas bising sedang sampai tinggi. Pada gagal janntung kanan dapat terdengar bising Graham Steel yang merupakan bising yang terdengar dengan nada tinggi yang terjadi akibat hipertensi pulmonal.
Didasarkan pada tingkat kerasnya suara, dibedakan:

3.Tipe (konfigurasi): timbul karena penyempitan atau aliran balik, dibedakan

Bising tipe kresendo: mulai terdengar dari pelan kemudian mengeras
Bising kresendo diastolik dapat terdengar pada stenosis mitral
Bising tipe dekresendo: bunyi dari keras kemudian menjadi pelan
Bising tipe kresendo-dekresendo: bunyi pelan lalu keras lalu pelan kembali
Bising tipe plateau: keras suara bising lebih menetap sepanjang pase sistolik, keras jarang berbunyi kasar
Bising ini dapat dijumpai pada insufisiensi mitral.

4.Lokasi dan penyebaran: daerah bising terdengar paling keras dan mungkin menyebar kearah tertentu
Pada stenosis aorta bising diastolik di sela iga 2 kiri atau kanan dapat menjalar ke leher atau aorta

Asuhan keperawatan dengan # FEMUR


A.  Pengertian.
Suatu keadaan diskontinuitas jaringan struktural pada tulang (Sylvia  Anderson Price 1985).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang rawan (Purnawan junadi 1982).

B. Insidensi
Fraktur femur mempunyai angka kejadian/ insiden yang cukup tinggi di banding dengan patah tulang jenis yang berbeda. Umumnya fraktur terjadi pada 1/3 tengah. 
 
C.  Penyebab Fraktur
1. Trauma langsung/ direct trauma, yaitu apabila fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa (misalnya benturan, pukulan yang mengakibatkan patah tulang).
2. Trauma yang tak langsung/ indirect trauma, misalnya penderita jatuh dengan lengan dalam keadaan ekstensi dapat terjadi fraktur pada pegelangan tangan.
3. Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang itu sendiri rapuh/ ada “underlying disesase” dan hal ini disebut dengan fraktur patologis.

D. Tanda dan gejalanya
1.    Sakit (nyeri).
2.    Inspeksi
a.    Bengkak.
b.    Deformitas.
3.    Palpasi
a.    Nyeri.
b.    Nyeri sumbu.
c.    Krepitasi.
4.    Gerakan
a.    Aktif (tidak bisa à fungsio laesa).
b.    Pasif à gerakan abnormal.

 E. Patofisiologi

F. Deskripsi fraktur 
1.    Berdasarkan keadaan luka
a.    Fraktur tertutup (“Closed Fraktur”) bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
b.    Fraktur terbuka (“Open/ Compound Fraktur”) bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit.


2.    Berdasarkan garis patah
a.    Fraktur komplet, bila garis patahnya menyeberang dari satu sisi ke sisi yang lain, jadi mengenai seluruh dari korteks tulang.
b.    Fraktur inkomplet, bila tidak mengenai korteks tulang pada sisi yang lain, jadi masih ada korteks tulang yang masih utuh. Hal ini seringkali terjadi pada anak-anak yang lazim di sebut dengan “Greenstick Farcture”. 
3.    Berdasarkan jumlah garis patah
a.    Simple fraktur bila hanya terdapat satu garis patah.
b.    Comunitive fraktur bila ada garis patah lebih dari satu dan saling berbungan/ bertemu.
c.    Segmental fraktur bila garis patah lebih dari satu dan tidak saling berhubungan dengan pengertian bahwa fraktur terjadi pada tulang yang sama, misalnya fraktur yang terjadi pada 1/3 proksimal dan 1/3 distal.
4.    Berdasarkan arah garis patah
a.    Fraktur melintang.
b.    Farktur miring.
c.    Fraktur spiral.
d.   Fraktur kompresi.
e.    Fraktur V/ Y/ T sering pada permukaan sendi.
Beberapa hal lain yang perlu di perhatikan dalam patah tulang:
a.    Mengenai sisi kanan (dextra) atau sisi kiri (sinistra) anggota gerak.
b.    Lokalisasinya semua tulang di bagi menjadi 1/3 proksimal, 1/3 tengah dan 1/3 distal, kecuali kalvikula dibagi menjadi ¼ medial, ½ tengah, ¼ lateral.
c.    Dislokasi fragmen tulang:
-   Undisplaced.
-   Fragmen distal bersudut terhadap proksimal.
-   Fragmen distal memutar.
-   Kedua fragmen saling mendekat dn sejajar.
-   Kedua fragmen saling menjauhi dan sumbu sejajar.

G.  Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksaanannya pada fraktur ada dua jenis yaitu konservatif dan operatif. Kriteria untuk menentukan pengobatan dapat dilakukan secara konservatif atau operatif selamanya tidak absolut.
Sebagai pedoman dapat di kemukakan sebagai berikut:
Cara konservatif:
1.    Anak-anak dan remaja, dimana masih ada pertumbuhan tulang panjang.
2.    Adanya infeksi atau diperkirakan dapat terjadi infeksi.
3.    Jenis fraktur tidak cocok untuk pemasangan fiksasi internal.
4.    Ada kontraindikasi untuk di lakukan operasi.

Cara operatif di lakukan apabila:
1.    Bila reposisi mengalami kegagalan.
2.    Pada orang tua dan lemah (imobilisasi à akibat yang lebih buruk).
3.    Fraktur multipel pada ekstrimitas bawah.
4.    Fraktur patologik.
5.    Penderita yang memerluka imobilisasi cepat.
Pengobatan konservatif dapat dilakukan dengan:
-   Pemasangan Gips.
-   Pemasangan traksi (skin traksi dan skeletal traksi). Beban maksimal untuk skin traksi adalah 5 Kg.
Pengobatan operatif:
-   Reposisi.
-   Fiksasi.
Atau yang lazim di sebut juga dengan tindakan ORIF (“Open Reduction Internal Fixation”)


H. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan fraktur
1.    Pengkajian
a.    Aktivitas dan istirahat
Keterbatasan, kehilangan fungsi pada bagian yang mengalami fraktur.
b.    Sirkulasi
Peningkatan tekanan darah atau denyut nadi (akibat dari nyeri, response dari stress).
Penurunan tekanan darah akibat dari kehilangan darah.
Penurunan jumlah nadi pada bagian yang sakit, pemanjangan dari capilarry refill time, pucat pada bagian yang sakit.
Terdapat masaa hematoma pada sisi sebelah yang sakit.
c.  Neurosensori
Kehilangan sensai pada bagian yang sakit, spasme otot, paraesthaesi pada bagian yang sakit.
Lokal deformitas, terjadinya sudut pada tempat yang abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi, kelemahan pada bagian tertentu.
d. Kenyamanan
Nyeri yang sangat dan yang terjadi secara tiba-tiba. Hilangnya sensai nyeri akibat dari kerusakan sistem syaraf.
e.  Keamanan 
Laserasi kulit , perdarahan, perubahan warna.
f.     Studi diagnostik
X ray : Menunjukkan secra pasti letak dan posisi dari terjadinya fraktur.
Bone scan, tomography, CT/ MRI scan : Menegakan diagnosa fraktur dan mengidentifikasi lokasi jaringan lunak yang mengalami kerusakan.
Ateriogram: Mungkin Jika diduga ada kerusakan pembuluh darah pada daerah yang mengalami trauma.
CBC: Mungkin mengalami peningkatan dari Hct, Peningkatan WBC merupakan hal yang normal setelah mengami trauma.
Creatinine: Trauma pada otot meningkatkan pembuangan creatininke ginjal.

2.    Diagnosa keperawatan dan rencana tindakan
a.    Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan diskotinuitas jaringan tulang, jaringan lunak di sekitar tulang 
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien di harapkan mampu menunjukan adanya penurunan rasa nyeri, pengendalian terhadap spasme dan cara berelaksasi.
Rencana:
1.    Pertahankan posisi atau imobilisasi pada bagian yang terkait.
2.    Bantu dan tinggikan akstrimitas yang mengalami injuri.
3.    Monitor dan kaji karakteristik dan lokasi nyeri.
4.    Lakukan diskusi dengan pasien mengenai nyeri dan alternatif solusinya.
5.    Jelaskan pada pasien setiap akan melakukan suatu tindakan.
6.    Kaji kemampuan klien dalam ROM ekstrimitasnya.
7.    Jelaskan pada pasien beberapa tahenik yang dapat dilakukan guna mengurangi nyeri (relaksasi, distraksi dan fiksasi).
8.    Kolaborasi dalam pemberian analgetik, antispamodik.
9.    Observasi TTV dan  keluhan nyeri.
b.    Perubahan pola eliminasi uri berhubungan dengan adanya batu di saluran kemih, iritasi jaringan oleh batu, mekanik obstruksi, inflamasi.
Tujuan: Setelah di lakukan tindakan perawatan klien mampu melakukan eliminasi miksi secara normal, dan bebas dari tanda-tanda obstruksi.
Rencana:
1.    Monitor intake dan output dan kaji karakteristik urine.
2.    Kaji pola miksi normal pasien.
3.    Anjurkan pada pasien untuk meningkatkan konsumsi minum.
4.    Tampung semua urine dan perlu di lihat apakah ada batu yang perlu untuk di lakukan pemeriksan.
5.    Kaji adanya keluhan kandung kemih yang penuh, penurunan jumlah urine dan adanya periorbital/ edema dependent sebagai tanda dari terjadinya obstruksi.
6.    Kolaborasi dalam pemeriksaan elektrolit, Bun, serum creat, urine kultur, dan pemberian antibiotik.
7.    Observasi keadaan umum pasien, status mental, perilaku dan kesadaran. 

c.    Resiko terjadinya gangguan keseimbangan cairan (defisit) berhubungan dengan post obstruktif deurisis, nausea vomiting.
Tujuan: Tidak terjadi gangguan keseimbangan cairan (defisit) selama di lakukan tindakan keperawatan.
Rencana:
1.    Monitor intake dan output cairan.
2.    Kaji dan catat bila terjadi nausea vomiting.
3.    Anjurkan pasien untuk minum banyak (3-4 l/hari) jika tidak ada kontra indikasi.
4.    Monitor tanda vital (peningkatan nadi, turgor kulit, mukosa membran, capilary refill time).
5.    Kaji berat badan setiap hari jika memungkinkan.
6.    Kolaborasi dalam pemberian cairan intra vena sesuai indikasi, antiemetik.
7.    Observasi KU pasien dan keluhan.


DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Sylvia Price, 1985, Pathofisiologi Konsep Klinik Proses-proses Penyakit, Jakarta: EGC.
Doengoes, Marylin E., 1989, Nursing Care Plans, USA Philadelphia: F.A Davis Company.
Junadi, Purnawan, 1982, Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.







Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Hipokalemia




A.  Pengertian
Hipokalemia adalah suatu keadaan dimana kadar atau serum mengacu pada konsentrasi  dibawah normal yang biasanya menunjukkan suatu kekurangan nyata dalam simpanan kalium total. (Brunner dan Suddarth, 2002).
Hipokalemia didefinisikan sebagai kadar kalium serum yang kurang dari 3,5mEq/L. (Price & Wilson, 2006)

B. Etiologi
Asupan kalium dari makanan yang menurun.
Kehilangan melalui saluran cerna.
Kehilangan melalui ginjal.
Kehilangan yang meningkat melalui keringat pada udara panas.
Perpindahan kalium kedalam sel.(Price & Wilson, 2006).
Adapun penyebab lain dari timbulnya penyakit hipokalemia : muntah berulang-ulang, diare kronik, hilang melalui kemih (mineral kortikoid berlebihan obat-obat diuretik). (Ilmu Faal, Segi Praktis, hal 209)

C. Patofisiologi
Kalium adalah kation utama cairan intrasel. Kenyataannya 98 % dari simpanan tubuh (3000-4000 mEq) berada didalam sel dan 2 % sisanya (kira-kira 70 mEq) terutamadalam pada kompetemen ECF. Kadar kalium serum normal adalah 3,5-5,5 mEq/L dan sangat berlawanan dengan kadar di dalam sel yang sekitar 160 mEq/L. Kalium merupakan bagian terbesar dari zat terlarut intrasel, sehingga berperan penting dalammenahan cairan di dalam sel dan mempertahankan volume sel. Kalium ECF, meskipunhanya merupakan bagian kecil dari kalium total, tetapi sangat berpengaruh dalamfungsi neuromuskular.

Perbedaan kadar kalium dalam kompartemen ICF dan ECF dipertahankan oleh suatu pompa Na-K aktif yang terdapat dimembran sel.Rasio kadar kalium ICF terhadap ECF adalah penentuan utama potensial membran selpada jaringan yang dapat tereksitasi, seperti otot jantung dan otot rangka. Potensial membran istirahat mempersiapkan pembentukan potensial aksi yang penting untuk fungsi saraf dan otot yang normal. Kadar kalium ECF jauh lebih rendah dibandingkan kadar di dalam sel, sehingga sedikit perubahan pada kompartemen ECF akanmengubah rasio kalium secara bermakna. Sebaliknya, hanya perubahan kalium ICF dalam jumlah besar yang dapat mengubah rasio ini secara bermakna.

Salah satu akibat dari hal ini adalah efek toksik dari hiperkalemia berat yang dapat dikurangikegawatannya dengan meingnduksi pemindahan kalium dari ECF ke ICF. Selain berperan penting dalam mempertahankan fungsi nueromuskular yang normal, kalium adalahsuatu kofaktor yang penting dalam sejumlah proses metabolik.Homeostasis kalium tubuh dipengaruhi oleh distribusi kalium antara ECF dan ICF,juga keseimbangan antara asupan dan pengeluaran.

Beberapa faktor hormonal dan nonhormonal juga berperan penting dalam pengaturan ini, termasuk aldostreon, katekolamin, insulin, dan variabel asam-basa.Pada orang dewasa yang sehat, asupan kalium harian adalah sekitar 50-100 mEq. Sehabis makan, semua kalium diabsorpsi akan masuk kedalam sel dalam beberapa menit, setelah itu ekskresi kalium yang terutama terjadi melalui ginjal akan berlangsung beberapa jam. Sebagian kecil (lebih kecil dari20%) akan diekskresikan melalui keringat dan feses. Dari saat perpindahan kalium kedalam sel setelah makan sampai terjadinya ekskresi kalium melalui ginjal merupakan rangkaian mekanisme yangpenting untuk mencegah hiperkalemia yang berbahaya. Ekskresi kalium melalui ginjal dipengaruhi oleh aldosteron, natrium tubulus distal dan laju pengeluaran urine. Sekresi aldosteron dirangsang oleh jumlah natrium yang mencapai tubulus distal dan peningkatan kalium serum diatas normal, dan tertekan bila kadarnya menurun.

Sebagian besar kalium yang di filtrasikan oleh gromerulus akan di reabsorpsipada tubulus proksimal. Aldosteron yang meningkat menyebabkan lebih banyak kalium yang terekskresi kedalam tubulus distal sebagai penukaran bagi reabsorpsi natrium atau H+. Kalium yang terekskresi akan diekskresikan dalam urine. Sekresi kalium dalam tubulus distal juga bergantung pada arus pengaliran, sehingga peningkatan jumlah cairan yang terbentuk pada tubulus distal (poliuria) juga akan meningkatkan sekresi kalium.Keseimbangan asam basa dan pengaruh hormon mempengaruhi distribusi kalium antaraECF dan ICF. Asidosis cenderung untuk memindahkan kalium keluar dari sel, sedangkan alkalosis cenderung memindahkan dari ECF ke ICF. Tingkat pemindahan ini akan meingkat jika terjadi gangguan metabolisme asam-basa, dan lebih berat pada alkalosis dibandingkan dengan asidosis. Beberapa hormon juga berpengaruh terhadap pemindahan kalium antara ICF dan ECF. Insulin dan Epinefrin merangsang perpindahan kalium ke dalam sel. Sebaliknya, agonis alfa-adrenergik menghambat masuknya kalium kedalam sel. Hal ini berperan penting dalam klinik untuk menangani ketoasidosis diabetik. (Price & Wilson, edisi 6, hal 341)

D. Manifestasi klinis
1. CNS dan neuromuskular; lelah, tidak enak badan, reflek tendon dalam menghilang.
2. Pernapasan; otot-otot pernapasan lemah, napas dangkal (lanjut)
3. Saluran cerna; menurunnya motilitas usus besar, anoreksia, mual mmuntah.
4. Kardiovaskuler; hipotensi postural, disritmia, perubahan pada EKG.
5. Ginjal; poliuria,nokturia.(Price & Wilson, 2006, hal 344)
E. Pemeriksaan Diagnostik
Kalium serum : penurunan, kurang dari 3,5 mEq/L.
Klorida serum : sering turun, kurang dari 98 mEq/L.
Glukosa serum : agak tinggi.
Bikarbonat plasma : meningkat, lebih besar dari 29 mEq/L.
Osmolalitas urine : menurun.* GDA : pH dan bikarbonat meningkat (Alkalosit metabolik).(Doenges 2002, hal 1049)

F. Penatalaksanaan
Adapun penatalaksanaan penyakit hipokalemia yang paling baik adalah pencegahan.Berikut adalah contoh-contoh penatalaksanaannya :
Pemberian kalium sebanyak 40-80 mEq/L.
Diet yang mengandung cukup kalium pada orang dewasa rata-rata 50-100 mEq/hari (contoh makanan yang tinggi kalium termasuk kismis, pisang, aprikot, jeruk,advokat, kacang-kacangan, dan kentang).
Pemberian kalium dapat melalui oral maupun bolus intravena dalam botol infus.
Pada situasi kritis, larutan yang lebih pekat (seperti 20 mEq/L) dapat diberikan melalui jalur sentral bahkan pada hipokalemia yang sangat berat, dianjurkan bahwa pemberian kalium tidak lebih dari 20-40 mEq/jam ( diencerkan secukupnya) : pada situasi semacam ini pasien harus dipantua melalui elektrokardigram (EKGdan diobservasi dengan ketat terhadap tanda-tanda lain seperti perubahan padakekuatan otot.(Brunner & Suddarth, 2002, hal 260).

G. Komplikasi
Adapun komplikasi dari penyakit hipokalemia ini adalah sebagai berikut :
Akibat kekurangan kalium dan cara pengobatan yang kurang hati-hati dapat menimbulkan otot menjadi lemah, kalau tidak diatasi dapat menimbulkan kelumpuhan.
Hiperkalemia yang lebih serius dari hipokalemia, jika dalam pengobatan kekuarangan kalium tidak berhati-hati yang memungkinkan terlalu banyaknya kalium masuk kedalam pembuluh darah.(Ilmu Gizi, 1991, hal 99)
Selain itu juga adapun hal-hal yang dapat timbul pada hipokalemia yaitu :
Aritmia (ekstrasistol atrial atau ventrikel) dapat terjadi pada keadaan hipokalemia terutama bila mendapat obat digitalis.
leus paralitik.
Kelemahan otot sampai kuadriplegia.
Hipotensi ortostatik.
Vakuolisasi sel epitel tubulus proksimal dan kadang-kadang tubulus distal.
Fibrosis interstisial, atropi atau dilatasi tubulus.
PH urine kurang akibatnya ekskresi ion H+ akan berkurang.
Hipokalemia yang kronik bila ekskresi kurang dari 20 mEq/L.(Ilmu penyakit Dalam, 2001, hal.308)

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Hipokalemia
A. Pengkajian
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang pasien, agar dapat mengidentifikasi, mengenali masalah-masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan pasien baik fisik, mental, sosial, dan lingkungan. (Nasrul Effendy, 1995)
1. Aktifitas atau istirahat
Gejala : kelemahan umum, latergi.
2. Sirkulasi
Tanda :* Hipotensi* Nadi lemah atau menurun, tidak teratur.* Bunyi jantung jauh.* Perubahan karakteristik EKG.* Disritmis, PVC, takikardia / fibrasi ventrikel.
3. Eliminasi
Tanda :* Nokturia, poliuria bila faktor pemberat pada hipokalemia meliputi GJK atau DM.* Penurunan bising usus, penurunan mortilitas, usus, ilues paralitik.* Distensi abdomen.
4. Makanan / cairanGejala : Anoreksia, mual, muntah.
5. NeurosensoriGejala : parestesia
Tanda :
Penurunan status mental / kacau mental, apatis, mengantuk, peka rangsangan, koma, hiporefleksia, tetani, paralisis.* Penurunan bising usus, penurunan mortilitas, usus, ileus paralitik.* Distensi abdomen
6. Nyeri / kenyamananGejala : nyeri / kram otot
7. PernapasanTanda : hipoventilasi / menurun dalam pernapasan karena kelemahan atau paralisis otot diafragma.(Marilyn E. Doenges 2002 hal 1048)

Karena hipokalemia dapat mengancam jiwa, penting artinya untuk memantau timbulnya hipokalemia pada pasien-pasien yang beresiko. Adanya keletihan, anoreksia, kelemahan otot, penurunan mortilitas usus, parestesia, atau disritmia harus mendorong perawat untuk memeriksa konsentrasi kalium serum. Jika tersedia, elektrokardiogram dapat memberikan informasi yang bernmanfaat. Pasien-pasien yang menerima digitalis yang berisiko mengalami defisiensi kalium harus dipantau dengan ketat terhadap tanda-tanda terjadinya toksisitas digitalis karena hipokalemia meningkatkan aksi digitalis. Pada kenyataannya, dokter biasanya memilih untuk mempertahankan kadar kalium serum lebih besar dari 3,5 mEq/L (SI : 3,5 mmol/L) pada pasien-pasien yang menerima digitalis. (Brunner & Suddarth, 2002, hal.261)

B.  Diagnoasa Keperawatan
Diagnosa yang sering ditemukan pada pasien hipokalemia secara teoritis adalah sebagai berikut :
1. Gangguan rasa nyaman; nyeri berhubungan dengan proses penyakit hipokalemia.
2. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik akibat kelelahan.
3. Hipertermi berhubungan dengan kegagalan untuk mengatasi infeksi akibat penyakit hipokalemia.
4. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelelahan akibat penurunan fungsiotot dalam tubuh.
5. Perubahan pola nutrisi berhubungan dengan anoreksi; mual muntah.
6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi.
Penurunan status mental / kacau mental, apatis, mengantuk, peka rangsangan, koma, hiporefleksia, tetani, paralisis.* Penurunan bising usus, penurunan mortilitas, usus, ileus paralitik.* Distensi abdomen
6. Nyeri / kenyamananGejala : nyeri / kram otot
7. PernapasanTanda : hipoventilasi / menurun dalam pernapasan karena kelemahan atau paralisis otot diafragma.(Marilyn E. Doenges 2002 hal 1048)